25 Februari 2013
Hari ini adalah hari ulang
tahunku. Aku rasa tak ada yang special di hari ini. Karena keluargaku pun lupa
akan hari ulang tahunku. Tapi ternyata aku salah. Ada seorang wanita cantik
yang menemaniku. Dia itu sahabat baikku. Aku berjumpa dengannya di kampus
seminggu yang lalu. Yah…. Mungkin aku baru mengenalnya tapi aku merasa nyaman
saat bersamanya. Hari ini dia datang ke kelasku. Dan mengajakku pergi ke sebuah
tempat. Em..tempat yang indah dan nyaman. Hembusan angin yang berlalu sungguh
memberiku kesejukan, seperti gadis cantik ini yang memberikanku sebuah kenyaman
dan kasih sayang. Walaupun dia hanya teman yang baru ku kenal. “kak Fahmi duduk
sini deh, nyaman dan sejuk kak disini” Aku duduk disebelahnya seperti apa yang
dia minta. “iya dek, enak banget disini. Oh ya kak, hari ini kakak ulang tahun
ya??? Aduh maaf ya kak aku nggak punya kado apa-apa untuk kakak” dia menatapku
dan akupun menatapnya sejenak, lalu memalingkan wajahku memandang lurus kedepan
“iya Ris, nggak papa kok, aku nggak ingin apa-apa darimu, satu hal yang aku ingin.
Aku ingin bahagia.” “bahagia kak” dia menatapku heran “emang kakak slama ini
nggak bahagia???” tanyanya yang membuatku menatap wajah manisnya. “iya,
bahagia. Aku belum pernah lagi merasakan bahagia sejak kepergian bunda.” Jadi
ibu kakak sudah meninggal” tanyanya penasaran. “iya” satu kata yang cukup
membuatnya bersedih. Kemudian aku menceritakan semua hal tentang
keluargaku, perasaanku dan tentang
penyakitku. Dia hanya mampu diam dan meteskan air matanya. Mungkin dia kasihan
padaku. “maaf ya, aku jadi curhat gini sama kamu”.”iya kak, nggak papa kok, aku
senang bisa mendengar cerita tentang kakak. Yah mungkin belum semuanya sih kak.
Tapi cukuplah untuk mengenal dan mengetahui siapa kakak.” Senyumannya kembali
terukir. Dia memberikan sebuah buku berwarna coklat tua dengan design sampul
yang sederhana dan klasik untukku “ ini kak buat kakak, aku harap kakak
bersedia untuk menceritakan semua yang kakak alami di buku ini. Dan aku harap,
kakak bisa merasa sedikit lega dengan menceritakan apa yang kakak rasakan di
buku ini”. Ku terima buku pemberiaanya. “makasih. Tapi tadi katanya nggak punya
kado buat aku. Trus ini apa?”. “hehehe sebenarnya ini bukan buat kakak, tapi
buatku sendiri. Namun aku rasa kakak lebih membutuhkannya. Jadi buku itu buat
kakak aja”. Tawa kecilnya membuatku ikut tertawa dan tersenyum karenanya.
“dasar aneh” ku cubit pipi tembemnya. “ih kakak kebiasaan deh, ntar kalo pipiku
tambah tembem gimana?”. Tak terasa sang senja pun akan segera menampakkan
dirinya. Dan kami memutuskan untuk pergi dari taman belakang di kampu. Dan langsung
pulang ke rumah.
Sesampainya dikamar aku langsung
merebahkan tubuhku ke tempat tidurku. Menghilangkan sedikit rasa lelahku. Ku
pejamkan mataku, dan aku tersenyum mengingat kejadian tadi. Ku buka buku pemberiam Risa. Dan aku mulai
menulis di buku itu. Hal pertama yang aku ceritakan adalah tentang Risa,
seorang wanita yang memberiku sedikit kebahagiaan. Tok..tok..tok… terdengar
suara di belakang pintu “Fahmi buruan makan, udah ditunggu tuh sama ayah”. “iya
dek, nanti aja, kalian makan saja dulu, aku belum lapar.” “ya sudah” kakakku
beranjak pergi menjahui kamarku.
“Aduh Fahmi kenapa channel kamu
gonta ganti terus” . “habisnya nggak ada yang bagus kak”. Kakak ku langsung
merebut remote yang aku pegang. “sini biar kakak ja yang milih channelnya”. Tak
berapa lama kemudian ayah mendekat. Beliau duduk disebelahku membawa sebatang
rokok dan korek. Aku mulai resah dan ku beranikan diri menegur ayah “Ayah, apa
sih enaknya rokok? Kok Ayah suka sekali merokok? Padahal kan itu nggak bagus
buat kesehatan Yah”. Ayah mulai
menghisap rokoknya. “karena rokok ini bisa menenangkan, udahlah kamu nggak usah
kawatir seperti itu, buktinya sampai sekarang Ayah nggak papa kan???” aku hanya
diam dan kunikmati rasa sesak didadaku yang mulai kurasa sejak menghirup asap
rokok ayah. Aku merasa sudah tidak tahan menahan rasa sakit ini, dan segera
pergi meninggalkan ayah tanpa sepatah kata pun. Aku tak ingin Ayah mengetahui
rasa sakit yang kurasa. Ku kunci pintu kamarku. Dan aku mulai merintih karena
sakit yang kurasa sungguh menyiksaku.
Keesokan harinya aku keluar rumah
dan pergi jalan-jalan. Menikmati kesejukan udara di pagi hari. Setelah ku rasa
cukup aku segera pulang. Karena aku harus kuliah. Sesampainya di kampus aku
duduk di taman kampus dan memasang headset di telingaku. Ku dengarkan musik
yang mengalun indah sambil membaca buku. “Assalamu’alaikum kak Fahmi” kulihat Risa
sudah berada di depanku yang menyapaku dengan manja “wa’alaikum salam Ris.” Ku lanjutkan membaca buku. “oh ya kak, Risa
duluan ya, ada kelas soalnya. Nanti kalau kakak ada waktu, hunbungi aku ya kak,
aku mau ngajak kakak makan siang bareng”. Ku acungkan jempolku yang berarti ku
mengiyakan ajakannya.
“huh akhirnya kelar juga” ku
segera mencari handphoneku dan segera menghubungi Risa. Dan tak lama kemudian kami
bertemu di kantin kampus. Aku mulai bercanda tawa dengannya, ku nikmati
saat-saat indah bersamanya. “oh ya kak, gemana kakak udah cerita ke buku diary
kan??? “ tanyanya sambil menikmati makanan yang dia pesan “iya Ris, udah kok”. “oke pinter kakakku
ini.” Senyumannya sungguh membuatku merasakan kedamaian.
Kunikmati indahnya sore ini
dengan secangkir teh hangat, duduk di halaman depan rumah, kuhirup udara segar
disekelilingku. Ku lantunkan lagu-lagu cinta dengan gitar kesayanganku. Cukup
lama aku menikmatinya. Hingga Ayah datang menemaniku. Duduk di sampingku. Dan
lagi-lagi ayah merokok. Saat aya menghembuskan asap rokok dari mulutnya, dan
saat kuhirup asap rokok itu. Perlahan-lahan asap rokok itu merasuk ke dalam
tubuhku, rasa sesak mulai menyerangku. Dan rasa sakit itu mampu menyekat
tenggorokanku, hingga aku sulit untuk bernafas. Ayah masih tidak sadar dengan
rasa sakit yang kurasakan. “Ayah, kok rokok ayah nggak habis-habis sih?”.
“memangnya kenapa nak, merokok itu enak lho. Kamu mau coba?” ayah memberikan
rokok yang dia hisap kepadaku. Aku menyingkirkan tangan ayah “nggak ah yah, kan
rokok itu dapat menyebabkan penyakit”. “Penyakit apa sih nak, ayah sampai
sekarang masih baik-baik saja kan”. “iya, mungkin sekarang ayah masih baik-baik
saja. Tapi perlahan-lahan rokok itu akan menggerogoti kesehatan ayah”.
“sudahlah nak, kamu itu nggak tau apa-apa. Rokok ini tuh member ketenangan buat
ayah. Diasaat ayah sedang stress, hanya rokok ini yang bisa mengobati”. “tapi
itu kan hanya sesaat ayah, apa ayah nggak memikirkan akibatnya nanti?”. “sudah
sudah, emang nggak ada habisnya kalau berdebat denganmu Fahmi”. Ayah beranjak
pergi meninggalkanku dengan kesal. Aku hanya mampu menghembuskan nafasku yang
berat ini. “ayah-ayah, apa ayah tak mengerti kalau merokok itu tidak hanya
mengganggu kesehatan si perokok, tapi juga orang yang ada disekitarnya ayah.
Termasuk aku yang sakit-sakitan ini ayah.” Aku hanya mampu menyimpan kata-kata
itu dalam hatiku. Karena ku tak ingin ayah tau penyakitku.
Dengan gontai aku melangkah
menuju kamarku. Langsung ku rebahkan tubuhku di tempat tidur saat sampai ke
tempat tidur. Rasa sesak yang kurasakan tak hanya mengganggu pernafasanku, tapi
membuat seluruh tubuhku terasa sakit. Kunikmati rasa sakit ini sendiri.
Diruangan yang gelap tanpa cahaya dan tanpa suara. Dan aku teringat dengan
sesosok wanita yang sangat aku sayangi. Aku kenang masa-masa indah saat
bersamanya. Aku rindu akan kasih sayangnya. “bunda, aku kangen banget sama
bunda. Rasanya aku ingin sekali bertemu dengan bunda. Bunda, Fahmi sudah lelah
dan nggak tahan dengan semua ini bunda. Rasa sakit yang perlahan lahan akan
membunuhku. Bunda, aku tak lagi bisa merasakan kebahagiaan bun, bahkan aku
harus menjadi dua kepribadian yang berbeda, agar aku bisa membahagiakan orang
yang kusayangi. Bunda, maafkan Fahmi ya bun, karena Fahmi belum bisa
membahagiakan bunda. Maafkan Fahmi bunda. Fahmi rindu bunda. Sangat-sangat
rindu”. Kata-kata itu terucap dengan
lirih, karena mungkin rasa sakit yang kurasa membuatku tak mampu berkata-kata
dengan baik. Hingga akhirnya ku rasakan sakit yang sungguh tak bisa kutahan. Ku
hembuskan nafas-nafasku dengan penuh perjuangan. Hingga akhirnya aku tak
sadarkan diri.
Ku buka mataku, ku tak bisa
melihat apa-apa karena diruangan ini sungguh gelap. Apa mungkin ini sudah
malam? Ku cari Hpku. Dan saat ku nyalakan Hp, terlihat jam 18.00. Aku kaget dan
berfikir “apa tadi aku pingsan? Tapi tak apalah lagian nggak ada yang tau juga
kan.” Segera aku bergegas ke kamar mandi. Untuk berwudhu dan melaksanakan
sholat magrib.
“ya
Allah, kuatkanlah hamba dalam menghadapi semua ini. Ya Allah berikanlah
kesehatan untuk orang-orang yang aku sayangi, berikanlah mereka kebahagiaan. Ya
Allah jagalah dan tempatkanlah bunda disimu, di tempat yang terbaik. Aku
menyayanginya Ya Allah. Aku ingin segera bertemu dengannya. Tapi aku tahu,
bahwa Engkau akan memberikan yang terbaik untuk hambamu. Aku hanya bisa
menikmati sisa-sisa hidupku. Maka berikanlah hamba kesabaran dan kekuatan.
Amin”. Ku teteskan air mataku disela do’aku.
Sesak
yang kurasa
Saat
asap putih menyebar dalam dada
Mencoba
bertahan dalam sadar jiwa
Namun
racun telah menyebar dalam pembuluh darah
Sakit
perih terasa di dalam dada
Terasa
nyeri dalam sekujur nyawa yang terasa
Tak
mampu menahan asap putih yang menyakitkan kepala
Namun
ku hanya mampu terdiam dalam saraf yang mulai melumpuhkan
Ayahku Perlahan Membunuhku ~Part 3
“Fahmi Fahmi. Jam segini kamu
baru bangun ya?”. “hehehe iya kak, tadi aku ketiduran”. Dalam batinku berkata “kakak
nggak tau sih apa yang aku alami, dan aku tak ingin kakak tau”. Kakak
mengambilkan makanan untukku. “ya sudah, nih buruan dihabisin makanannya”. “iya
kak makasih. Oh ya kak, ayah kemana? Kok nggak ikut makan bareng?”. “biasalah
dek, dia lagi merokok tuh didepan rumah. Kakak sampai capek nasehatin ayah dek.
Ya udahlah biarin aja dek” ucapnya kesal.
“Assalamu’alaikum” suara seorang
wanita yang ku kenal. “em sepertinya itu temanku kak, biar aku saja yang
membukakan pintu.” Aku segera menuju ke ruang tamu dan membukakan pintu
“wa’alaikumsalam Risa. lho kok kamu ada disini Ris?”. “iya kak, aku memang
sengaja kesini. Aku kangen sama kakak. Hehehe”.
“Dasar pipi tembem” dia segera memegang pipinya, karena dia takut ku menyubitnya.
“idih ngapain kamu pegangin tuh pipi? Takut aku cubit ya? Hahaha. Buruan
masuk”. “iya. Makasih.” Setelah dia duduk ku buka pembicaraan “aku buatin minum
dulu ya Ris”. “em nggak usah kak, nggak usah repot-repot”. “nggak repot kok
Ris. Tunggu bentar ya?”
“nih minumannya, buruan gih diminum”.
“ok. Makasih kakak”. Dia langsung menghabiskan minuman yang kuberikan. “ya elah
Ris. Kamu haus banget ya. Sekali teguk habis tuh minuman”. “hehehe iya kak,
maksih ya kak. Seger banget lho es teh manis buatan kakak.” kita saling menatap
kemudian tertawa bersama. “Fahmi, siapa nih? Pacar kamu?” tiba-tiba ayah datang
dari belakangku. “bukan ayah. Dia sahabatku. Namanya Risa.” “hallo om” Risa mengulurkan tangannya
kemudian mencium tangan ayah. “nama saya Risa. saya temen kuliahnya kak Fahmi”.
“Risa. nama yang cantik, secantik orangnya”. “ah om bisa aja. Ayo om silahkan
duduk, ngobrol bareng sama kita”. Ayah pun duduk. Dan lagi-lagi dia membawa
rokok kesayangannya. Kuhembuskan nafas panjang. Risa memandangku, seolah
mengerti apa yang akan terjadi padaku nanti. Risa menghentikan ayah, sebelum
menyalakan rokoknya. “maaf om, merokok itu nggak baik buat kesehatan lho om.
Nggak Cuma buat perokoknya aja om, tapi juga untuk orang disekitarnya.
Termasuk…..” aku segera menggengam tangan Risa, ku tatap matanya dalam-dalam
dan ku menggelangkan kepalaku. Dan dia pun mengerti apa maksudku “termasuk apa
Ris?” Tanya ayah menyadarkan kita berdua. Segera ku lepas genggaman tanganku.
“termasuk saya om, saya nggak suka asap rokok om”. Ayah tidak jadi menyalakan
rokoknya “oh. Jadi kamu nggak suka?. Ya sudah kalo gitu biar om yang pergi dari
sini”.
Aku coba menahan ayah “tunggu
yah, nggak papa kok ayah merokok disini. Iya kan Ris”. Akhirnya Risa pun
mengangguk. Dan Ayah kembali duduk bersama kami. Dia nyalakan pematik api dan
dia bakar ujung batang rokok yang siap ayah hisap. Ku lihat wajah Risa, dia
tampak cemas. Dan aku menggenggam tangannya lagi. Dan berbisik padanya “nggak
papa kok Ris tenang aja”. Dia menghelakkan nafas panjang. Perlahan namun pasti.
Asap rokok ayah mulai masuk ke tubuhku. Rasanya aku mulai susah untuk bernafas.
Tak lama kemudian kurasakan pening dikepalaku. Hingga akhirnya kurasakan sakit
diseluruh tubuhku. Risa yang menyadari keadaanku langsung menggenggam erat
tanganku. Seolah dia ikut merasakan apa yang aku rasa. Suasana menjadi hening
dan kami semakin erat berpegangan tangan. “maaf om, boleh nggak aku ajak kak
Fahmi jalan?”. Ayah menatap wajah Risa kemudian berkata “silahkan nak. Tapi
pulangnya jangan malam-malam ya”. “iya om. Klo gitu kita pamit. Permisi om”.
Pamit Risa. Dia memegang lenganku kemudian langsung menarikku keluar, pergi
menjauh dari ayah. “Ris, ngapain kamu pegang lenganku seerat ini?”. Dia hanya
diam dan melanjutkan perjalanan kita. Mungkin karena dia takut kalau aku kan
terjatuh karena tak kuat menahan sakit. “ayo kak, kita duduk di bawah pohon ini
aja ya. Disini sejuk dan udaranya baik untuk kakak”.
Setelah
ku merasa lebih baik ku bertanya pada Risa “Ris kenapa kamu tadi mengajakku
keluar rumah? Apa karena kamu nggak tega lihat aku? Trus kenapa tadi memegang
lenganku seperti itu?” bertubi-tubi ku bertanya padanya. Dan dia hanya menjawab
“iya”. “iya apa?” tanyaku penasaran. Dia menatap ku dan berkata “iya aku nggak
tega lihat kakak, aku takut kakak kenapa-kenapa dan aku tak ingin kakak jatuh
dan semakin sakit”. “ hahaha, nggak
perlu segituya juga kali Ris”. Jawabku singkat. “segitunya gimana kakak, kakak
tuh dah terlihat pucat tadi, dan mungkin kakak juga sudah sulit untuk bernafas.
Gemana nggak khawatir coba?” balasnya dengan emosi “kak, kakak tau kan. Asap
rokok itu nggak baik buat kakak. Kalau begini trus keaadaannya. Bisa-biwq ayah
kakak membunuh kakak secara perlahan” air matanya mengalir begitu deras. Dan
aku hentikan semua kata-katanya dengan meletakkan telunjuk jariku ke bibirnya.
“pssttt. Udah-udah nggak usah diterusin.” Ku betulkan posisi dudukku dan
kulanjutkan kata-kataku “lagean. Tanpa bantuan ayah ku pun. Aku juga akan mati
kok karena penyakitku ini”. “udah ya kak udah. Aku nggak mau denger kata-kata
itu lage. Aku nggak suka” emosinya sudah tak terbendung lagi. Dia berdiri dan
ingin melangkah pergi meninggalkanku tapi setelah langkah pertamanya di
menengok kebelakang dan metapku. Dan akhirnya dia mengurungkan niatnya dan kembali
lagi duduk disampingku “kenapa nggak jadi pergi? Nggak tega ninggalin aku?” dia
hanya mengangguk dan bersandar dipundakku “aku tak ingin kakak pergi. Jangan
tinggalin aku kak”.
Ayahku Perlahan Membunuhku ~Ending
Hari ini kami sekeluarga
berencana untuk pergi kemping. Aku merasa sedikit bahagia, Karena sejak bunda
pergi, kita tak pernah melakukan hal ini. Tak lupa aku mengajak Risa untuk ikut
bersama kami. Dan keluargaku pun senang dengan kehadirannya. Karena Risa adalah
seorang gadis yang ceria menyenangkan dan lucu. Setiap kali aku memperhatikan
gerak geriknya. Rasanya aku ingin sekali tersenyum.
Dalam perjalanan pulang tiba-tiba
suasana menjadi panas saat ayah mulai menghisap rokoknya. “ayah. Bisa nggak sih
nggak merokok. Udaranya jadi tercemar nih yah” Omel kakak dengan nada emosi.
Namun ayah tetap cuek dan menikmati rokoknya. Kita hanya mampu diam dan
menggelengkan kepala. Dan kadang-kadang batuk-batuk karena asap rokok ayah.
Penyakitku kambuh lagi. “kak, kakak nggak papa. Wajah kakak pucet banget”.
“nggak papa kok Ris.” Nafasku mulai tersendat-sendat. Tubuhku mulai melemah.
Tapi aku tetap menyembunyikan rasa sakitku ini. “yakin kakak nggak papa?” Sari
menyandarkan kepalaku kebahunya dan berbisik padaku “yang sabar ya kak, kakak
pasti kuat”. Penglihatanku semakin kabur dan aku semakin sulit bernafas. Masih
ku dengar teriakan panik Risa “kak….kak… berhenti kak…” “ada apa Risa” Tanya
kakak panik “tolong berhentiin mobilnya”. “iya tapi kenapa?”. “buruan berhenti
kakak. Berhenti!!!” teriak Risa yang mengagetkan semua orang yang ada di mobil.
Ku tak dapat lagi mendengar suara mereka. Bahkan aku tak tahu apa yang terjadi
lagi.
Kurang lebih selama satu minggu
aku berada dirumah sakit. Kata Risa sudah 4 hari aku tak sadarkan diri. Ya
sudahlah yang lalu biarkan berlalu. Dan ini adalah puisi terakhirku yang akan
aku tulis di buku diary Risa. Dan puisi inilah yang akan menjadi cerita akhirku
di buku diary ini.
Aku
mencintai keluargaku
Tak akan aku berkata jika akan
membuat mereka bersedih
Biar kunikmati segala rasa sakit
yang menyesakkan dadaku
Dan terkadang mencekik
kerongkonganku
Agar mereka bahagia tanpa harus
melihat kepedihan rasa sakit yang menghantam hidupku
Aku takkan mengatakan bahwa “Ayah
perlahan membunuhku”
Karena ini semua sudah menjadi
takdirku
Catatan hidup dan matiku sudah
terukir indah di Lauh Mahfud
The end